Everything Is Not As It Seems
Semuanya tak seperti kelihatannya. Adalah pandangan yang selalu kutamatkan pada benakku ketika melihat seseorang melalui penampilan ataupun akun jejaring sosialnya. Aku menyesal selama bertahun - tahun menganggap bahwa apa yang terlihat pada laman akun mereka benar - benar apa yang mereka alami.
Ada yang terlihat berpose amat bahagia, tak taunya itu dia lakukan untuk menghilangkan depresi yang cukup menyiksa. Ada seorang bajingan yang bercakap tentang cinta bak Kahlil Gibran. Ada yang tak pernah masuk kelas Bahasa Indonesia tapi berkata-kata layaknya Fiersa Besari.Ada yang terlihat sering mengutarakan pandangannya tentang kejadian sosial tapi tak pernah mengimplementasikannya. Ada yang sholat tak rampung 5 waktu tapi bersabda layaknya Cak Nun. Ada yang seolah memiliki ribuan pengikut tapi sebenarnya tak ada satupun teman yang peduli saat dia jatuh. Ada yang bahkan tak pernah terlihat di media sosial, tapi jiwanya sangat ceria dan dicintai banyak orang.
So, apakah masih valid kita gunakan first impression untuk mengukur tingkat kebahagian atau kesehatan mental seseorang?
Ada yang terlihat berpose amat bahagia, tak taunya itu dia lakukan untuk menghilangkan depresi yang cukup menyiksa. Ada seorang bajingan yang bercakap tentang cinta bak Kahlil Gibran. Ada yang tak pernah masuk kelas Bahasa Indonesia tapi berkata-kata layaknya Fiersa Besari.Ada yang terlihat sering mengutarakan pandangannya tentang kejadian sosial tapi tak pernah mengimplementasikannya. Ada yang sholat tak rampung 5 waktu tapi bersabda layaknya Cak Nun. Ada yang seolah memiliki ribuan pengikut tapi sebenarnya tak ada satupun teman yang peduli saat dia jatuh. Ada yang bahkan tak pernah terlihat di media sosial, tapi jiwanya sangat ceria dan dicintai banyak orang.
So, apakah masih valid kita gunakan first impression untuk mengukur tingkat kebahagian atau kesehatan mental seseorang?
Pernah sesekali ‘ku berargumen dengan satu teman yang kebetulan sedang mempelajari ilmu komunikasi. Aku berpendapat bahwa "Komunikasi itu tak perlu dilakukan terlalu sering dan intim tapi yang penting dilakukan secara konstan". Mengapa? Karena semakin lama durasi pembicaraan, arah topik akan semakin menjurus ke arah keintiman atau hal yang terlalu sensitif untuk dibicarakan dan sangat riskan menimbulkan masalah yang lain.
Tapi, dia berkata lain. "Komunikasi itu harus dilakukan seintens dan sesering mungkin", katanya sambil menyambut alasannya karena menghindari ketidakjelasan dan kesalahpahaman dari 2 komunikan. Menurut apa yang kutangkap, mungkin komunikasi yang dilakukan hanya sebatas syarat untuk bertegur sapa biasanya hanya dibalas dengan jawaban yang tidak didasarkan apa yang sebenarnya terjadi. Maka dari itu untuk menghindari prasangka everything is fine abal-abal, keintiman itu harus dibangun.
Pengalamanku bertemu orang-orang baru dan membuatku ingin mengenalnya lebih dalam telah memberiku kejelasan bahwa apa yang dikatakan temanku itu memang benar, dan penyesalan itu datang…
"everything is not as it seems"
For those, yang masih egois dan terlalu cepat menilai orang dari penampilan dan media sosial seseorang, berhentilah, karena kamu sesungguhnya tak benar-benar mengenalnya. For those, yang masih sering mencurahkan isi hatimu ke media sosial ataupun lebih memilih memendamnya, berhentilah, dan ceritakanlah kepada seseorang yang kamu percayai. For those, yang tak peduli kehidupan sosial sekitarmu, you better get started. Hidup hanya sekali saja, jangan kau habiskan untuk mengejar ambisi dan memuaskan diri sendiri. Humans are created as a social creatures. So be it.
Comments
Post a Comment