Menyerah atau Bertahan?
Pasrah dan menyerah hampir diartikan sama bagi sebagian
orang. Saat kita merasa lelah, bosan, putus asa, menderita, berduka, tersiksa,
sering kita merasa kalau itu menjadi masa yang paling tidak mengenakan dalam
hidup. Kita bahkan sering merasa kenapa hal seperti itu bisa menimpa kita. Namun disaat kita sedang bahagia atau bersuka
cita seringkali kita lupa untuk mengucap syukur. Bersyukur dikala suka ialah
hal yang lumrah atau wajar, namun disaat ujian hidup menempa dan disaat putus asa dan kesusahan apakah kita
perlu bersyukur? Jawabannya jelas iya, namun kita mungkin sering melupakannya.Disaat
itulah esensi rasa syukur yang sebenarnya diuji. Menyerah dengan keputus asaan
atau bertahan dengan rasa syukur adalah sebuah pilihan.
Pernah ada pengalaman saat aku merasa sendiri, jauh dari
keluarga, terpuruk,dan merasa penat. Memilih
menyerah pasrah atau bertahan dengan berusaha dengan lapang dada membuatku
benar benar bimbang. 10 bulan dimasa pertukaran pelajar membuatku merasa benar
benar kangen rumah, benar-benar merasa selesai dan benar-benar hendak pulang
secepatnya. Masih kuingat betul 2016 ialah tahun yang paling berkesan dalam
hidup pun juga tahun yang paling bisa merubah pribadiku. Banyak sekali
perubahan yang kualami sepanjang tahun itu. Tinggal di negara orang tanpa
bayang-bayang ketakutan akan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Kukira
semuanya akan terjadi mengikuti alur; penuh suka, bahagia, sesuai harapan
sebelum keberangkatanku. Namun dari semua ekspetasi itu ternyata banyak sekali
tantangan yang kuhadapi mulai dari memelajari bahasa Jepang yang tak pernah
kutebak kalau akan kupergunakan dalam hidupku, hidup mandiri tanpa orang tua
yang menyuportku seutuhnya. Disaat seperti ini perhatian kita untuk mensyukuri
semuanya jadi teruji. Merubah mindset 180 derajat kalau aku sedang tidak
dirumahku sendiri, tidak di lingkunganku sendiri, tidak di negeriku sendiri
baru benar benar kurasakan. Ada pepatah mengatakan “ Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang di tepian; Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Akhirnya
baru kusadar kalau ditengah jalan aku merasa putus asa dan menyerah malah aku
gak bakal dapat apa-apa. Makanya kutenangkan pikiran dan kuatur mindset untuk
bertahan dan berjuang untuk keluar dari masa itu dengan harapan akan ada
kebahagiaan setelahnya.
Bukankah sering kita lihat para miskin, gelandangan, anak
yatim piatu yang hidup di jalanan dengan seadanya. Kulitnya yang sampai coklat
tua terbakar sinar matahari, berpakaian seadanya, makan asal ada yang bisa
dimakan, dan hidupnya hanya mengemis dari sedekah orang yang lewat. Bukankah
itulah penderitaan yang sesungguhnya(?) Namun mereka yang hidup seperti itu pun
juga bisa tersenyum ikhlas, tanpa menuntut sesuatu yang lebih. Sedangkan kita
yang tiap hari hidup berkecukupan tanpa sengaja pernah mengeluh karena hal yang
sepele misalnya seperti ingin naik mobil mewah, motor gagah, rumah megah,berbaju
mahal, makan enak di restoran dsb. Dan tak jarang kita sering stress dan terlarut
dalam kesedihan karena ada ujian hidup yang tak kunjung usai. Tidakkah kita
sadar dan malu kalau penderitaan kita hanya sebentar dan tidak bisa dibandingkan
mereka yang sejak lahir hidup menderita miskin bahkan mungkin hidup sebatang
kara seumur hidupnya. Hidup itu panjang, penuh perjuangan, penderitaan, ujian, kesusahan, dan kesedihan namun jika kita berusaha untuk bertahan dan berjuang
disertai rasa syukur serta pengharapan maka masa sulit itu pasti akan segera
sirna seiring dengan waktu. Niscaya kebahagiaan akan datang mengikuti. Ayolah
kita tetap bersyukur di segala keadaan. Bersyukur bukan hanya lewat perkataan
saja namun dari setiap perbuatan yang berguna bagi sesama dan diri kita serta
kemuliaan Tuhan. So, Jangan berhenti berharap dan berusaha. Jangan pernah menyerah!
Comments
Post a Comment